Yang Minat Jualan Pulsa Gak Pake Ribet WAJIB Klik Gambar

Kamis, 06 April 2017

Novel " IWAN 'first' "

Kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya, yang saya bagikan masih sebuah novel tetapi kali ini tidak ada link untuk mendownloadnya. Ini merupakan karya aku yang pertama (ceritanya lagi belajar nulis, eh ngetik masudnya, kan pake pc. hehehee). So aku minta tolong banget setelah dibaca, kasih komen masukan-masukan, biar tambah up lagi. Ini aku pos bagian satu dulu, bila kalian suka, aku langsung pos bagian-bagian selanjutnya. langsung aja ke tkp.

SATU
“Pak! Tunggu pak!” teriak Iwan sambil menunggangi sepeda motornya. “Tumben Mas Iwan baru berangkat jam segini?” Iwan cuma tersenyum mendengar ucapan satpam sekolah.
Hari ini memang Iwan sampai disekolah tepat pintu gerbang akan ditutup oleh sang juru kunci, julukan Iwan untuk satpam sekolah. Seperti biasa, sebelum masuk kelas, Iwan mampir kekantin sekolah yang kebetulan jalan menuju kelas Iwan dari halaman parkir melewati kantin.
Bel sekolah berbunyi, pertanda jam masuk pelajaran. Kebiasaan di pagi hari, guru BP berkeliling sekitar sekolah, termasuk kantin sekolah. Apa lagi kalo bukan untuk mendisiplinkan siswa-siswanya yang suka melanggar peraturan sekolah, khususnya jam masuk. Iwan dan siswa lainnya langsung kabur ketika melihat Miss kucing masuk ke kantin. Entah kenapa seluruh siswa memanggil guru BP-nya  begitu, mungkin karena suka berburu mangsa. Siapa lagi mangsanya kalo bukan siswa yang suka melanggar peraturan. Dan kali ini Miss kucing mendapat satu  buruan yang bersembunyi di bawah meja kantin.
“Eh Ibu, mau jajan juga? kebetulan pisang gorengnya baru matang.” Kata Iwan kaget ketika tempat persembunyiannya kali ini diketahui oleh Miss kucing.
“Terimakasih, ayo ikut Ibu sekarang!” Tanpa ampun lagi Iwan langsung diseret keruang BP.
“Ini sudah kesekian kalinya Ibu memperingatkan kamu, apa kamu mau begini terus?” Bukannya menyesali perbuatannya, Iwan malah tidak memperhatikan perkataan guru BP-nya. Malah sibuk sendiri. Membuat Miss kucing makin naik darah.
Setelah mendapat ceramah yang lumayan panjang yang nggak kalah panjang sama jalan tol, Iwan keluar dari ruang BP dan menuju ruang kelasnya yang selalu ‘damai’. Belum sampai di kelas, suara gaduh sudah terdengar dari kelas XI-IA 4, pertanda Pak Anton tidak ada di kelas XI-IA 7 atau kelas kesayangan Iwan.
Selang beberapa lama Pak Anton masuk kelas dengan pelajaran yang super sulit. Bukannya memperhatikan pelajaran yang disampaikan Pak Anton, Iwan malah menggoda teman gadisnya  yang duduk didepannya. Pak Anton yang melihat kejadian itu langsung melempar Iwan dengan penghapus papan tulis yang siap sedia mengenai mangsanya.
“HAPPP...” Bukannya mengenai kapala Iwan, malah penghapus itu ditangkap oleh Iwan. Pak Anton geram atas tingkah laku Iwan. Karena penghapus andalan Pak Anton gagal mengenai sasaran, tanpa ampun lagi Iwan langsung di pindahkan kebangku paling belakang, tentunya untuk mengahiri penderitaan temannya.
Karena duduk di bangku paling belakang sendiri, Iwan malah tidur disaat jam pelajaran. “TARRR...” Kali ini penghapus andala Pak Anton tepat mengenai sasaran yang berakibat benjolan dikepala Iwan. Belum rasa sakit dikepalanya hilang akibat penghapus andalan, Pak Anton mengadakan  ulangan dadakan.
Setelah ulangan selesai. Dari seluruh siswa, banyak yang  mendapat nilai dibawah enam, kecuali Iwan. Hampir semua jawaban Iwan benar.
Dari dulu, seluruh guru di sekolah heran kepada Iwan, karena Iwan jarang memperhatikan pelajaran, tetapi nilai harian dan ulangannya selalu peringkat pertama. Sebenarnyanya Iwan bisa masuk kelas XI-IA 1 karena IQ-nya yang tinggi. Tetapi karena kelakuannya, Iwan di masukkan ke kelas XI-IA 7.
Nama lengkapnya Iwan Sakti, atau sering di panggil Iwan. Iwan dilahirkan oleh keluarga yang lebih dari berkecukupan. Kedua orang tua Iwan telah meninggal saat Iwan masih berumur satu tahun. Selama ini Iwan tinggal bersama pamannya.
Iwan selalu mempertayakan penyebab kematian kedua orang tuanya, tetapi pamannya selalu memberikan jawaban yang sama. Jawaban yang tidak pernah menjawab pertanyaan Iwan. “Kalau sudah waktunya, kamu pasti akan mengetahui.” Jawaban yang selalu di berikan kepada Iwan. Sampai ahirnya pamannya meninggal saat Iwan baru masuk SMA. Sebelum meninggal, pamannya meninggalkan sepucuk surat untuk Iwan.
Untuk Iwan.
Mungkin ketika kamu membaca surat ini, paman sudah tidak ada lagi di dunia ini. Sekarang kamu sudah siap dan sudah waktunya.
Dari paman yang selalu sayang.
Sampai sekarang Iwan tidak pernah mengetahui maksud dari surat pamannya. Iwan sekarang ini bersekolah di salah satu SMA Negeri yang ada di Purwokerto. Karena tingkah lakunya, Iwan tidak pernah berteman akrab dengan teman sebayanya. Ia lebih suka membaca buku di lorong sekolah atau menjahili temen-temannya, khususnya teman gadisnya. Hobinya tidak kalah ekstrim. Semua pelatihan beladiri selalu Iwan ikuti setiap ahir pekan. Dan setiap libur panjang sekolah Iwan selalu naik gunung atau menyelam ke dasar laut.
Sebenarnya Iwan bisa di bilang laki-laki idola para kaum hawa. Badannya yang tinggi besar dan kekar di tambah wajahnya yang ganteng merupakan cowo impian para gadis, apa lagi gaya rambutnya ‘harajuku’ mirip artis Jepang. Tapi sampai sekarang Iwan tidak pernah berpacaran, selain kaum hawa takut akan kejahilannya, Iwan juga lumayan payah dalam urusan yang namanya cinta. Walau bisa di bilang nggak payah-payah amat, cuma Iwan nggak pernah berani bilang cinta pada cewe yang di sukainya.
***
Bel sekolah berbunyi tepat jam dua siang. Menunjukkan jam pulang sekolah. Iwan langsung berlalu, menuju parkiran motor. Memacu motonya dengan lambat di tengah jalan. mobil di belakangnya sibuk memencet klakson.
“Mas! Ini jalan bukan punya nenek moyang lo! Mending jalan kaki aja sekalian!” kata si pengemudi mobil sambil berlalu. Iwan hanya tersenyum, masih dengan kecepatan yang tidak bertambah.
“Mas! Eh, bukan, penganten jawa! Pestanya bukan dijalan! Tuh, di gedung sono! Bawa motor kayak jalannya putri keraton aja!”
“Hehehe... belum ketemu gedungnya!” balas Iwan dengan tersenyum. Emosinya nol besar.
Sampai di kawasan taman kota, yang keadaannya sepi, Iwan melihat sekelompok preman akan menodong seorang gadis yang kelihatanya seumuran dengan dirinya. Iwan yang melihat kejadian itu langsung menghampiri. Tanpa berkata, Iwan langsung memukul salah satu preman. Sontak teman preman langsung menghampiri Iwan. Mengetahui posisinya terjepit, Iwan berlari. Tanpa mempedulikan target korbanya, semua preman mengejar Iwan. Iwan berlari dengan kencang, dari jalan ke gang sempit. Sampai akhirnya Iwan bertemu jalan buntu. Mengetahui musuhnya menemui jalan buntu, preman tadi berjalan dengan santai siap menghabisi Iwan.
Iwan melepaskan tasnya. Seluruh preman yang berjumlah lima orang, secara bersamaan menyerang Iwan dengan senjata tajam dan pukulan. Iwan berkelit. BUUGGHH… pukulan telak Iwan kesalah setu preman dan langsung tersungkur. Satu demi satu preman itu berhasil di kalahkan oleh Iwan.
Dari kejauhan, seseorang sedang merekam perkelahian Iwan. Setelah merasa cukup. Seorang yang sedang merekam perkelahian Iwan mengambil Hp, dari saku celananya. Jari tangannya sibuk menekan sebuah nomor.
“Saya sudah menemukan anak itu. Dengan sedikit pelatihan, anak ini akan menjadi senjata yang sangat hebat. Dan saya memperoleh cukup banyak data baru tentang dirinya saat ini, dari data yang telah ada.” Kata orang yang sedang menelpon dengan lawan bicaranya. Yang entah ada di mana.
“Baik kalau begitu.” Orang itu lalu menutup telponya. Karena berada di atas gedung, dan kendaraan yang di pakainya berada di gedung sebelah dari gedung saat ini dia berada. Orang itu melompat ke gedung sebelah seperti Spiderman, tapi tanpa jaring laba-laba. Untuk mempercepat menuju tempat ia memparkirkan kendaraannya.
Perkelahian yang lumayan lama. Sambil berjalan dan memperhatikan lawan-lawanya yang sudah penuh luka akibat serangan Iwan yang cukup brutal, Iwan mengambil tasnya  yang tadi ia lepaskan.
Sampai di tempat Iwan memarkirkan motornya, gadis itu sudah pergi. Mungkin takut. Kembali Iwan memacu motornya dengan kecepatan yang sama. Kecepatan yang sama dengan orang berjalan kaki.
Sampai di rumah mewahnya yang kini tinggal Iwan seorang yang tinggal. Iwan langsung memasuka motornya ke dalam garasi.
Langsung masuk ke kamarnya. Ganti pakaian, kemudian mengambil leptop kesayangannya. Membuka game yang selalu di mainkan saat sedang jenuh.
Tak lama Iwan bermain game. Iwan membuka websetnya yang ia bangun sudah lama. Hampir setiap hari Iwan memperbarui webnya dengan berita-berita terbaru. Selain memperbarui berita di webnya. Iwan juga memasukan virus komputer yang baru di buatnya ke dalam program webnya.
Sehingga siapa saja yang meng copy isi webnya tanpa seizin Iwan. Pasti komputer yang meng copy langsung terjangkit virus yang mematikan. Yang mengakibatkan komputer langsung mati dan data di komputer hilang semua.
Cukup memakan waktu untuk memasukan virus di program webset. Setelah semuanya berhasil di perbarui dan virus berhasil di tanamkan di dalam program websetnya. Iwan berniat mematikan leptopnya.
Tapi niatnya tidak terjadi, yang ada malah Iwan membuka salah satu jejaring sosial. Di jejaring sosialnya yang bernama facebook. Banyak laporan yang masuk. Itu karena Iwan jarang membuka jejaring sosialnya.
Bukanya memperbarui setatusnya. Iwan malah meng hack jejaring sosial teman dunia mayanya. Seluruh profil jajering sosial yang Iwan hack di hapus dan passwordnya pun di rubah. Di pastikan pemilik aslinya tidak lagi dapat membuka jejaring sosialnya.
Waktu tak terasa. Jam sudah menunjukan ke angka lima sore. Bunyi perut Iwan terdengar sangat jelas. Iwan yang belum makan sejak pulang dari sekolah, langsung keluar rumah untuk mencari makan.
Iwan memang tidak pernah memasak sendiri, ia lebih suka makan di luar. Langkah kakinya menuju penjual pecel lele langganannya yang tidak jauh dari rumah.
Langkah kakinya terhenti. Tempat yang biasa untuk berjualan pecel lele kelihatan sepi, yang biasanya penuh sesak saat jam makan. Hanya terdengar suara tukang sapu jalan raya yang sedang menyapu.
“Maaf Bu, yang suka jualan di sini kemana?” Tanya Iwan kepada tukang sapu, dengan nada sopan tentunya.
“Sudah pindah Mas.” Jawabnya. Iwan yang perutnya sudah kroncongan berjalan lagi. Mencari tempat makan langganan baru. Cukup jauh Iwan berjalan dari rumahnya.
Sebenarnya sepanjang jalan banyak pedagang kaki lima, yang selalu siap menjajakan jualannya. Tapi Iwan kurang suka makannya. Iwan lebih suka makan yang langsung membuatnya kenyang dan tentunya bergizi. Akhirnya kakinya terhenti di rumah makan yang selalu terang. Rumah makan Padang menjadi pilihan Iwan.
Saat Iwan menyantap makannya. Mata Iwan terganggu melihat seorang gadis sedang memesan makanan. Gadis itu menuju meja makan yang paling belakang. Saat menyantap makanan, pandangan Iwan tidak lepas dari gadis tersebut. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, Iwan memperhatikan betul-betul. Memastikan gadis yang di lihatnya sama dengan gadis yang ia tolong tadi siang.
Makanan yang di pesan sudah di habiskan oleh Iwan. yang tersisa cuma satu gelas es teh manis saja. Sedangkan pesanan makan gadis itu baru datang.
“Boleh gue duduk di sini?” kata Iwan kepada gadis tersebut. Yang membuat gadis tersebut kaget karena mendengar suara Iwan. Mulutnya yang sedang menguyah makanan, membuatnya hanya menganggukan kepala. Memberi isarat. Mempersilahkan Iwan duduk.
“Makasih ya.” kata gadis tersebut kepada Iwan. Iwan membalas dengan anggukan kepala juga. Suasana terasa hening di meja mereka di tengah-tengah keramaian rumah makan Padang. Gadis tersebut sibuk dengan makanannya. Iwan sendiri sibuk memagang gelas berisi es teh manis yang tinggal separuh.
“Perkenalkan. Nama gue Iwan. Tadi siang, kenapa menghilang?” Pertanyaan Iwan memecahkan keheningan di antara mereka. Sambil mengulurkan tangan bermaksud memperkenalkan diri.
“Panggil saja gue Dwi. Maaf, tadi siang gue pergi begitu saja.” Balas gadis itu sambil membersihkan mulutnya dengan tisu, yang sudah selesai makan.
“Kalau begitu gue duluan ya?” Dwi berpamitan kepada Iwan yang akan pergi ke kasir. Di saat Dwi akan membayar makanan. Iwan berlari menghampirinya.
“Mas, gabungkan saja sama punya saya. Jadi semuanya berapa?” Tanya Iwan kepada petugas kasir.
“Nggak usah, biar gue bayar sendiri aja.”
“Nggak papa, tenang saja.” Setelah membayar. Iwan dan Dwi keluar dari rumah makan.
“Makasihya, sudah traktir gue. Habis ini kamu lo kemana?” Tanya Dwi kepada Iwan.
“Rencananya mau ke toko buku yang ada di ujung jalan depan.”
“Ko sama. Suka novel juga ya? Jarang lo, laki-laki suka baca novel.” Kerena bingungIwan asal menjawab. “ia” Sambil berjalan Iwan baru teringat. Toko buku yang sedang ia tuju memang terkenal dengan novelnya. Padahal sama sekali Iwan tidak berniat membeli novel.
Tapi Iwan mau membeli buku tentang pistol yang di gunakan oleh James Bond. Salah satu film kesukaan Iwan. Iwan menyadari, James Bond hanya cerita fiksi, dan Iwan tak mungkin seperti idolanya itu. Tapi Iwan suka menirukan gaya Jame Bond dengan gayanya sendiri.
Oleh sebab itu Iwan masuk menjadi anggota PERBAKIN. (organisasi persatuan penembak seluruh Indonesia) paling tidak Iwan bisa menembak layaknya James Bond. Senjata yang kini di miliki Iwan hanya untuk berburu hewan di hutan dengan anggota perbakin lainya.
Saat sampai di depan toko buku. Tangan Iwan langsung di tarik oleh Dwi, yang sudah tidak sabar ingin membeli novel kesayangannya. Dwi langsung menuju rak yang penuh dengan buku novel terbaru. Masih dengan menarik tangan Iwan, Dwi sibuk memilih novel yang akan di belinya.
“Lo suka novel apa?” Iwan membuka pembicaraan dengan pertanyaan basi.
“Gue suka banget sama Jomblo dan Gege Mencari Cinta, abis lucu banget. Adhitya Mulya jago banget nyeritainnya. Filmnya juga! Lucu banget, gue sampai baca Jomblo tiga kali, loh!”
“Wah, gue juga suka, tuh. Keren banget. Kocak abis!” Balas Iwan ngasal, padahal ia belum pernah baca dan tidak tahu bahwa novel Jomblo sudah di filmkan.
“Lo sendiri?”
 Waduh, kacau! Iwan nggak pernah baca novel. Iwan ke toko buku juga gara-gara mau beli buku tentang pistol yang di pakai James Bond. Nggak pernah ada niatan beli yang namanya novel.
“Gue paling suka Arjuna looking for Wiwahaha.” Jawaban paling asal abad ini meluncur dari mulut Iwan, terinspirasi dari sebuah kitab.
“Arjuna looking for wiwahaha? Penulisnya siapa?”
Waduh! Iwan tadi cuma ngasal.
“Oh, penulisnya dari luar, namanya Raimu Van Kere.” Siapa, tuh? Bodo, ah! Asal aja, dari pada Iwan malu.
“Namanya aneh banget, kok gue nggak pernah denger, ya?” kata Dwi sambil menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa.
“Dia orang Belanda, tapi warga Negara Palestina. Kabar terakhir, sih, katanya dia sudah mati ketabrak panser waktu negaranya lagi perang.” Apaan lagi, nih, makin ngasal aja Iwan!
“Wah, kasihan banget. gue udah dapat nih bukunya yang gue cari. lo?” Tangan Dwi sambil menunjukan buku yang mau di belinya.
“Belum nih. Kalo lo udah dapat dan mau pulang dulu, ga papa ko.” Terang Iwan kepada Dwi sambil berpura-pura masih mencari novel yang mau di beli.
“Oh. Begitu. Ya udah. Semoga kita bertemu lagi, ya. Dadah.” Dwi berpamitan kepada Iwan.
Iwan memastikan. Bahwa Dwi sudah tidak ada lagi di toko buku. Dari arah utara, terus ke arah timur sampai ke arah utara lagi. Pandangan mata Iwan berkeliling. Seperti anak kecil yang tersesat di mol dan nggak tau harus meminta tolong kepada siapa. Setelah pasti. Langkah kaki Iwan menuju rak buku paling pojok belakang untuk mengahiri penderitaan di rak buku yang penuh berisi buku-buku novel. Rak yang berisi buku-buku jenis senjata. Dari sekian bayak buku jenis senjata. Hanya satu buku yang mengenai senjata api. Lainya mengenai senjata tradisional yang ada di Indonesia. Dan itu pun cuma tinggal satu-satunya.
Iwan mengantri di kasir. Persis di depannya, berdiri seorang lelaki dengan bau badan menyengat. Pokoknya, garansi uang kembali, deh, kalau kecoak atau serangga lain nggak koma dalam tiga menit di ketiaknya. Busyet, Mas ini bau keteknya nggak nahan. Pasti dia kurang air buat mandi, deh. Aduh, tolong.. hidung gue juga barang rentang, nih! Gue ngeri banget hidung gue retak gara-gara bau si Mas. Gue yakin Mas ini pasti kebanyakan makan bawang. Buku yang dia beli pasti Teknik Menanam Bawang di Rumah. Heran, deh, kenapa juga dia nggak beli buku Tangkis Bau Ketiak Anda, ya?
Frustrasi dengan bau ekslusif si Mas, Iwan mencari akal untuk memotong antrian atau setidaknya keluar dari antrian itu. Sayangnya, antrian di kasir lain juga tak kalah panjang. Hidung Iwan semakin tersiksa dengan cengkeraman bau ketiak si Mas.
“Mas, kayaknya buku itu bayarnya pake nota, deh. Mending notanya di minta dulu, Mas. Dari pada nanti makin lama bayarnya.” Iwan berbohong sembari menahan napas.
“Oh, gitu ya, dik?” Mas Bau merespons dengan mulut yang tak kalah bau dengan ketiaknya. Iwan jadi ragu, yang tadi di ciumnya bau ketiak atau bau napasnya si Mas, ya?
Mas Bau itu langsung menuju rak buku yang ingin di belinya. Ia lalu berbicara dengan petugas, yang wajahnya lambat laun berubah pucat karena sibuk menahan napas di hadapan si Mas.
Tak lama, wajah si Mas berubah bete, mirip marmut di tinggal induknya. Ia baru sadar bahwa ia telah menjadi korban kebohongan Iwan. Dengan muka semakin suntuk, ia kembali mengantri di urutan paling belakang. Orang yang berdiri di depannya mendadak terlihat kaget.
Sampai di rumah, Iwan membuka buku yang di belinya. Ia membuka pembungkus plastik buku itu. Mata, tangan dan pikiran Iwan sangat fokus pada buku yang baru di belinya. Iwan sangat terpesona pada model senjata api ini. Baru melihat gambarnya saja Iwan ingin langsung memilikinya.

Senjata yang Iwan maksud adalah Walther P99, yang di gunakan oleh Pierce Brosnan di film James Bond yang berjudul Tomorrow Never Dies, The World Is Not Enough, dan Die Another Day.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar