Kali ini sedikit berbeda dari sebelumnya, yang saya bagikan masih sebuah novel tetapi kali ini tidak ada link untuk mendownloadnya. Ini merupakan karya aku yang pertama (ceritanya lagi belajar nulis, eh ngetik masudnya, kan pake pc. hehehee). So aku minta tolong banget setelah dibaca, kasih komen masukan-masukan, biar tambah up lagi. Ini aku pos bagian satu dulu, bila kalian suka, aku langsung pos bagian-bagian selanjutnya. langsung aja ke tkp.
SATU
“Pak! Tunggu pak!” teriak Iwan sambil
menunggangi sepeda motornya. “Tumben Mas Iwan baru berangkat jam segini?” Iwan
cuma tersenyum mendengar ucapan satpam sekolah.
Hari ini memang Iwan sampai disekolah
tepat pintu gerbang akan ditutup oleh sang juru kunci, julukan Iwan untuk
satpam sekolah. Seperti biasa, sebelum masuk kelas, Iwan mampir kekantin
sekolah yang kebetulan jalan menuju kelas Iwan dari halaman parkir melewati
kantin.
Bel sekolah berbunyi, pertanda jam masuk
pelajaran. Kebiasaan di pagi hari, guru BP berkeliling sekitar sekolah,
termasuk kantin sekolah. Apa lagi kalo bukan untuk mendisiplinkan
siswa-siswanya yang suka melanggar peraturan sekolah, khususnya jam masuk. Iwan
dan siswa lainnya langsung kabur ketika melihat Miss kucing masuk ke kantin.
Entah kenapa seluruh siswa memanggil guru BP-nya begitu, mungkin karena suka berburu mangsa.
Siapa lagi mangsanya kalo bukan siswa yang suka melanggar peraturan. Dan kali
ini Miss kucing mendapat satu buruan
yang bersembunyi di bawah meja kantin.
“Eh Ibu, mau jajan juga? kebetulan
pisang gorengnya baru matang.” Kata Iwan kaget ketika tempat persembunyiannya
kali ini diketahui oleh Miss kucing.
“Terimakasih, ayo ikut Ibu sekarang!”
Tanpa ampun lagi Iwan langsung diseret keruang BP.
“Ini sudah kesekian kalinya Ibu
memperingatkan kamu, apa kamu mau begini terus?” Bukannya menyesali
perbuatannya, Iwan malah tidak memperhatikan perkataan guru BP-nya. Malah sibuk
sendiri. Membuat Miss kucing makin naik darah.
Setelah mendapat ceramah yang lumayan
panjang yang nggak kalah panjang sama jalan tol, Iwan keluar dari ruang BP dan
menuju ruang kelasnya yang selalu ‘damai’. Belum sampai di kelas, suara gaduh
sudah terdengar dari kelas XI-IA 4, pertanda Pak Anton tidak ada di kelas XI-IA
7 atau kelas kesayangan Iwan.
Selang beberapa lama Pak Anton masuk
kelas dengan pelajaran yang super sulit. Bukannya memperhatikan pelajaran yang
disampaikan Pak Anton, Iwan malah menggoda teman gadisnya yang duduk didepannya. Pak Anton yang melihat
kejadian itu langsung melempar Iwan dengan penghapus papan tulis yang siap
sedia mengenai mangsanya.
“HAPPP...” Bukannya mengenai kapala
Iwan, malah penghapus itu ditangkap oleh Iwan. Pak Anton geram atas tingkah
laku Iwan. Karena penghapus andalan Pak Anton gagal mengenai sasaran, tanpa
ampun lagi Iwan langsung di pindahkan kebangku paling belakang, tentunya untuk mengahiri
penderitaan temannya.
Karena duduk di bangku paling belakang
sendiri, Iwan malah tidur disaat jam pelajaran. “TARRR...” Kali ini penghapus
andala Pak Anton tepat mengenai sasaran yang berakibat benjolan dikepala Iwan. Belum
rasa sakit dikepalanya hilang akibat penghapus andalan, Pak Anton
mengadakan ulangan dadakan.
Setelah ulangan selesai. Dari seluruh
siswa, banyak yang mendapat nilai
dibawah enam, kecuali Iwan. Hampir semua jawaban Iwan benar.
Dari dulu, seluruh guru di sekolah heran
kepada Iwan, karena Iwan jarang memperhatikan pelajaran, tetapi nilai harian
dan ulangannya selalu peringkat pertama. Sebenarnyanya Iwan bisa masuk kelas
XI-IA 1 karena IQ-nya yang tinggi. Tetapi karena kelakuannya, Iwan di masukkan
ke kelas XI-IA 7.
Nama lengkapnya Iwan Sakti, atau sering
di panggil Iwan. Iwan dilahirkan oleh keluarga yang lebih dari berkecukupan.
Kedua orang tua Iwan telah meninggal saat Iwan masih berumur satu tahun. Selama
ini Iwan tinggal bersama pamannya.
Iwan selalu mempertayakan penyebab
kematian kedua orang tuanya, tetapi pamannya selalu memberikan jawaban yang
sama. Jawaban yang tidak pernah menjawab pertanyaan Iwan. “Kalau sudah waktunya,
kamu pasti akan mengetahui.” Jawaban yang selalu di berikan kepada Iwan. Sampai
ahirnya pamannya meninggal saat Iwan baru masuk SMA. Sebelum meninggal,
pamannya meninggalkan sepucuk surat untuk Iwan.
Untuk Iwan.
Mungkin ketika kamu membaca surat
ini, paman sudah tidak ada lagi di dunia ini. Sekarang kamu sudah siap dan
sudah waktunya.
Dari paman yang selalu sayang.
Sampai sekarang Iwan tidak pernah
mengetahui maksud dari surat pamannya. Iwan sekarang ini bersekolah di salah
satu SMA Negeri yang ada di Purwokerto. Karena tingkah lakunya, Iwan tidak
pernah berteman akrab dengan teman sebayanya. Ia lebih suka membaca buku di
lorong sekolah atau menjahili temen-temannya, khususnya teman gadisnya. Hobinya
tidak kalah ekstrim. Semua pelatihan beladiri selalu Iwan ikuti setiap ahir pekan.
Dan setiap libur panjang sekolah Iwan selalu naik gunung atau menyelam ke dasar
laut.
Sebenarnya Iwan bisa di bilang laki-laki
idola para kaum hawa. Badannya yang tinggi besar dan kekar di tambah wajahnya
yang ganteng merupakan cowo impian para gadis, apa lagi gaya rambutnya
‘harajuku’ mirip artis Jepang. Tapi sampai sekarang Iwan tidak pernah
berpacaran, selain kaum hawa takut akan kejahilannya, Iwan juga lumayan payah
dalam urusan yang namanya cinta. Walau bisa di bilang nggak payah-payah amat,
cuma Iwan nggak pernah berani bilang cinta pada cewe yang di sukainya.
***
Bel sekolah berbunyi tepat jam dua
siang. Menunjukkan jam pulang sekolah. Iwan langsung berlalu, menuju parkiran
motor. Memacu motonya dengan lambat di tengah jalan. mobil di belakangnya sibuk
memencet klakson.
“Mas! Ini jalan bukan punya nenek moyang
lo! Mending jalan kaki aja sekalian!” kata si pengemudi mobil sambil berlalu.
Iwan hanya tersenyum, masih dengan kecepatan yang tidak bertambah.
“Mas! Eh, bukan, penganten jawa!
Pestanya bukan dijalan! Tuh, di gedung sono! Bawa motor kayak jalannya putri
keraton aja!”
“Hehehe... belum ketemu gedungnya!”
balas Iwan dengan tersenyum. Emosinya nol besar.
Sampai di kawasan taman kota, yang
keadaannya sepi, Iwan melihat sekelompok preman akan menodong seorang gadis
yang kelihatanya seumuran dengan dirinya. Iwan yang melihat kejadian itu
langsung menghampiri. Tanpa berkata, Iwan langsung memukul salah satu preman.
Sontak teman preman langsung menghampiri Iwan. Mengetahui posisinya terjepit,
Iwan berlari. Tanpa mempedulikan target korbanya, semua preman mengejar Iwan.
Iwan berlari dengan kencang, dari jalan ke gang sempit. Sampai akhirnya Iwan
bertemu jalan buntu. Mengetahui musuhnya menemui jalan buntu, preman tadi
berjalan dengan santai siap menghabisi Iwan.
Iwan melepaskan tasnya. Seluruh preman
yang berjumlah lima orang, secara bersamaan menyerang Iwan dengan senjata tajam
dan pukulan. Iwan berkelit. BUUGGHH… pukulan telak Iwan kesalah setu preman dan
langsung tersungkur. Satu demi satu preman itu berhasil di kalahkan oleh Iwan.
Dari kejauhan, seseorang sedang merekam
perkelahian Iwan. Setelah merasa cukup. Seorang yang sedang merekam perkelahian
Iwan mengambil Hp, dari saku celananya. Jari tangannya sibuk menekan sebuah
nomor.
“Saya sudah menemukan anak itu. Dengan
sedikit pelatihan, anak ini akan menjadi senjata yang sangat hebat. Dan saya
memperoleh cukup banyak data baru tentang dirinya saat ini, dari data yang
telah ada.” Kata orang yang sedang menelpon dengan lawan bicaranya. Yang entah ada
di mana.
“Baik kalau begitu.” Orang itu lalu
menutup telponya. Karena berada di atas gedung, dan kendaraan yang di pakainya
berada di gedung sebelah dari gedung saat ini dia berada. Orang itu melompat ke
gedung sebelah seperti Spiderman, tapi tanpa jaring laba-laba. Untuk
mempercepat menuju tempat ia memparkirkan kendaraannya.
Perkelahian yang lumayan lama. Sambil
berjalan dan memperhatikan lawan-lawanya yang sudah penuh luka akibat serangan
Iwan yang cukup brutal, Iwan mengambil tasnya
yang tadi ia lepaskan.
Sampai di tempat Iwan memarkirkan
motornya, gadis itu sudah pergi. Mungkin takut. Kembali Iwan memacu motornya
dengan kecepatan yang sama. Kecepatan yang sama dengan orang berjalan kaki.
Sampai di rumah mewahnya yang kini
tinggal Iwan seorang yang tinggal. Iwan langsung memasuka motornya ke dalam
garasi.
Langsung masuk ke kamarnya. Ganti
pakaian, kemudian mengambil leptop kesayangannya. Membuka game yang selalu di
mainkan saat sedang jenuh.
Tak lama Iwan bermain game. Iwan membuka
websetnya yang ia bangun sudah lama. Hampir setiap hari Iwan memperbarui webnya
dengan berita-berita terbaru. Selain memperbarui berita di webnya. Iwan juga
memasukan virus komputer yang baru di buatnya ke dalam program webnya.
Sehingga siapa saja yang meng copy isi
webnya tanpa seizin Iwan. Pasti komputer yang meng copy langsung terjangkit
virus yang mematikan. Yang mengakibatkan komputer langsung mati dan data di
komputer hilang semua.
Cukup memakan waktu untuk memasukan
virus di program webset. Setelah semuanya berhasil di perbarui dan virus
berhasil di tanamkan di dalam program websetnya. Iwan berniat mematikan
leptopnya.
Tapi niatnya tidak terjadi, yang ada
malah Iwan membuka salah satu jejaring sosial. Di jejaring sosialnya yang
bernama facebook. Banyak laporan yang masuk. Itu karena Iwan jarang membuka
jejaring sosialnya.
Bukanya memperbarui setatusnya. Iwan
malah meng hack jejaring sosial teman dunia mayanya. Seluruh profil jajering
sosial yang Iwan hack di hapus dan passwordnya pun di rubah. Di pastikan
pemilik aslinya tidak lagi dapat membuka jejaring sosialnya.
Waktu tak terasa. Jam sudah menunjukan
ke angka lima sore. Bunyi perut Iwan terdengar sangat jelas. Iwan yang belum
makan sejak pulang dari sekolah, langsung keluar rumah untuk mencari makan.
Iwan memang tidak pernah memasak
sendiri, ia lebih suka makan di luar. Langkah kakinya menuju penjual pecel lele
langganannya yang tidak jauh dari rumah.
Langkah kakinya terhenti. Tempat yang
biasa untuk berjualan pecel lele kelihatan sepi, yang biasanya penuh sesak saat
jam makan. Hanya terdengar suara tukang sapu jalan raya yang sedang menyapu.
“Maaf Bu, yang suka jualan di sini
kemana?” Tanya Iwan kepada tukang sapu, dengan nada sopan tentunya.
“Sudah pindah Mas.” Jawabnya. Iwan yang
perutnya sudah kroncongan berjalan lagi. Mencari tempat makan langganan baru.
Cukup jauh Iwan berjalan dari rumahnya.
Sebenarnya sepanjang jalan banyak
pedagang kaki lima, yang selalu siap menjajakan jualannya. Tapi Iwan kurang
suka makannya. Iwan lebih suka makan yang langsung membuatnya kenyang dan
tentunya bergizi. Akhirnya kakinya terhenti di rumah makan yang selalu terang.
Rumah makan Padang menjadi pilihan Iwan.
Saat Iwan menyantap makannya. Mata Iwan
terganggu melihat seorang gadis sedang memesan makanan. Gadis itu menuju meja
makan yang paling belakang. Saat menyantap makanan, pandangan Iwan tidak lepas
dari gadis tersebut. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, Iwan memperhatikan
betul-betul. Memastikan gadis yang di lihatnya sama dengan gadis yang ia tolong
tadi siang.
Makanan yang di pesan sudah di habiskan
oleh Iwan. yang tersisa cuma satu gelas es teh manis saja. Sedangkan pesanan
makan gadis itu baru datang.
“Boleh gue duduk di sini?” kata Iwan
kepada gadis tersebut. Yang membuat gadis tersebut kaget karena mendengar suara
Iwan. Mulutnya yang sedang menguyah makanan, membuatnya hanya menganggukan
kepala. Memberi isarat. Mempersilahkan Iwan duduk.
“Makasih ya.” kata gadis tersebut kepada
Iwan. Iwan membalas dengan anggukan kepala juga. Suasana terasa hening di meja
mereka di tengah-tengah keramaian rumah makan Padang. Gadis tersebut sibuk
dengan makanannya. Iwan sendiri sibuk memagang gelas berisi es teh manis yang
tinggal separuh.
“Perkenalkan. Nama gue Iwan. Tadi siang,
kenapa menghilang?” Pertanyaan Iwan memecahkan keheningan di antara mereka.
Sambil mengulurkan tangan bermaksud memperkenalkan diri.
“Panggil saja gue Dwi. Maaf, tadi siang
gue pergi begitu saja.” Balas gadis itu sambil membersihkan mulutnya dengan tisu,
yang sudah selesai makan.
“Kalau begitu gue duluan ya?” Dwi
berpamitan kepada Iwan yang akan pergi ke kasir. Di saat Dwi akan membayar
makanan. Iwan berlari menghampirinya.
“Mas, gabungkan saja sama punya saya.
Jadi semuanya berapa?” Tanya Iwan kepada petugas kasir.
“Nggak usah, biar gue bayar sendiri
aja.”
“Nggak papa, tenang saja.” Setelah
membayar. Iwan dan Dwi keluar dari rumah makan.
“Makasihya, sudah traktir gue. Habis ini
kamu lo kemana?” Tanya Dwi kepada Iwan.
“Rencananya mau ke toko buku yang ada di
ujung jalan depan.”
“Ko sama. Suka novel juga ya? Jarang lo,
laki-laki suka baca novel.” Kerena bingungIwan asal menjawab. “ia” Sambil
berjalan Iwan baru teringat. Toko buku yang sedang ia tuju memang terkenal
dengan novelnya. Padahal sama sekali Iwan tidak berniat membeli novel.
Tapi Iwan mau membeli buku tentang
pistol yang di gunakan oleh James Bond. Salah satu film kesukaan Iwan. Iwan
menyadari, James Bond hanya cerita fiksi, dan Iwan tak mungkin seperti idolanya
itu. Tapi Iwan suka menirukan gaya Jame Bond dengan gayanya sendiri.
Oleh sebab itu Iwan masuk menjadi
anggota PERBAKIN. (organisasi persatuan penembak seluruh Indonesia) paling
tidak Iwan bisa menembak layaknya James Bond. Senjata yang kini di miliki Iwan
hanya untuk berburu hewan di hutan dengan anggota perbakin lainya.
Saat sampai di depan toko buku. Tangan
Iwan langsung di tarik oleh Dwi, yang sudah tidak sabar ingin membeli novel
kesayangannya. Dwi langsung menuju rak yang penuh dengan buku novel terbaru.
Masih dengan menarik tangan Iwan, Dwi sibuk memilih novel yang akan di belinya.
“Lo suka novel apa?” Iwan membuka
pembicaraan dengan pertanyaan basi.
“Gue suka banget sama Jomblo dan Gege
Mencari Cinta, abis lucu banget. Adhitya Mulya jago banget nyeritainnya.
Filmnya juga! Lucu banget, gue sampai baca Jomblo tiga kali, loh!”
“Wah, gue juga suka, tuh. Keren banget.
Kocak abis!” Balas Iwan ngasal, padahal ia belum pernah baca dan tidak tahu
bahwa novel Jomblo sudah di filmkan.
“Lo sendiri?”
Waduh, kacau! Iwan nggak pernah baca novel. Iwan
ke toko buku juga gara-gara mau beli buku tentang pistol yang di pakai James
Bond. Nggak pernah ada niatan beli yang namanya novel.
“Gue paling suka Arjuna looking for
Wiwahaha.” Jawaban paling asal abad ini meluncur dari mulut Iwan, terinspirasi
dari sebuah kitab.
“Arjuna looking for wiwahaha? Penulisnya
siapa?”
Waduh! Iwan tadi cuma ngasal.
“Oh, penulisnya dari luar, namanya Raimu
Van Kere.” Siapa, tuh? Bodo, ah! Asal aja, dari pada Iwan malu.
“Namanya aneh banget, kok gue nggak
pernah denger, ya?” kata Dwi sambil menutup mulutnya dengan tangan, menahan
tawa.
“Dia orang Belanda, tapi warga Negara
Palestina. Kabar terakhir, sih, katanya dia sudah mati ketabrak panser waktu
negaranya lagi perang.” Apaan lagi, nih, makin ngasal aja Iwan!
“Wah, kasihan banget. gue udah dapat nih
bukunya yang gue cari. lo?” Tangan Dwi sambil menunjukan buku yang mau di
belinya.
“Belum nih. Kalo lo udah dapat dan mau
pulang dulu, ga papa ko.” Terang Iwan kepada Dwi sambil berpura-pura masih mencari
novel yang mau di beli.
“Oh. Begitu. Ya udah. Semoga kita
bertemu lagi, ya. Dadah.” Dwi berpamitan kepada Iwan.
Iwan memastikan. Bahwa Dwi sudah tidak
ada lagi di toko buku. Dari arah utara, terus ke arah timur sampai ke arah
utara lagi. Pandangan mata Iwan berkeliling. Seperti anak kecil yang tersesat
di mol dan nggak tau harus meminta tolong kepada siapa. Setelah pasti. Langkah
kaki Iwan menuju rak buku paling pojok belakang untuk mengahiri penderitaan di
rak buku yang penuh berisi buku-buku novel. Rak yang berisi buku-buku jenis
senjata. Dari sekian bayak buku jenis senjata. Hanya satu buku yang mengenai
senjata api. Lainya mengenai senjata tradisional yang ada di Indonesia. Dan itu
pun cuma tinggal satu-satunya.
Iwan mengantri di kasir. Persis di
depannya, berdiri seorang lelaki dengan bau badan menyengat. Pokoknya, garansi
uang kembali, deh, kalau kecoak atau serangga lain nggak koma dalam tiga menit
di ketiaknya. Busyet, Mas ini bau keteknya nggak nahan. Pasti dia kurang air
buat mandi, deh. Aduh, tolong.. hidung gue juga barang rentang, nih! Gue ngeri
banget hidung gue retak gara-gara bau si Mas. Gue yakin Mas ini pasti
kebanyakan makan bawang. Buku yang dia beli pasti Teknik Menanam Bawang di
Rumah. Heran, deh, kenapa juga dia nggak beli buku Tangkis Bau Ketiak Anda, ya?
Frustrasi dengan bau ekslusif si Mas,
Iwan mencari akal untuk memotong antrian atau setidaknya keluar dari antrian
itu. Sayangnya, antrian di kasir lain juga tak kalah panjang. Hidung Iwan
semakin tersiksa dengan cengkeraman bau ketiak si Mas.
“Mas, kayaknya buku itu bayarnya pake
nota, deh. Mending notanya di minta dulu, Mas. Dari pada nanti makin lama
bayarnya.” Iwan berbohong sembari menahan napas.
“Oh, gitu ya, dik?” Mas Bau merespons
dengan mulut yang tak kalah bau dengan ketiaknya. Iwan jadi ragu, yang tadi di
ciumnya bau ketiak atau bau napasnya si Mas, ya?
Mas Bau itu langsung menuju rak buku
yang ingin di belinya. Ia lalu berbicara dengan petugas, yang wajahnya lambat
laun berubah pucat karena sibuk menahan napas di hadapan si Mas.
Tak lama, wajah si Mas berubah bete,
mirip marmut di tinggal induknya. Ia baru sadar bahwa ia telah menjadi korban
kebohongan Iwan. Dengan muka semakin suntuk, ia kembali mengantri di urutan
paling belakang. Orang yang berdiri di depannya mendadak terlihat kaget.
Sampai di rumah, Iwan membuka buku yang
di belinya. Ia membuka pembungkus plastik buku itu. Mata, tangan dan pikiran
Iwan sangat fokus pada buku yang baru di belinya. Iwan sangat terpesona pada
model senjata api ini. Baru melihat gambarnya saja Iwan ingin langsung memilikinya.
Senjata yang Iwan maksud adalah Walther
P99, yang di gunakan oleh Pierce Brosnan di film James Bond yang berjudul
Tomorrow Never Dies, The World Is Not Enough, dan Die Another Day.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar